Awan Panas Merapi itu Seperti.....
"Jika digambarkan seperti kita membakar belalang, maka belalang itu akan kaku dan hangus. Korban yang diterpa awan panas akan kaku dan hangus yang dilumuri debu," kata pakar geologi Universitas Indonesia, Dr. Rokhmatuloh,"National Geographic" bahkan menyebut korban letusan Merapi 26 Oktober lalu adalah versi modern dari kehancuran Pompeii di era purba, karena mayat-mayat kaku berdebu di Merapi mirip dengan korban tewas di Pompeei dua millenium lalu.
"Jika awan panas itu tidak berlalu atau diam saja, maka dapat dipastikan korban akan menjadi abu," kata Rokhmatuloh.Tak heran, jika para vulkanolog menyebut "pyroclastic flows" atau "wedhus gembel" adalah material vulkanik yang paling mematikan.
Gambaran lainnya adalah letusan Gunung Pelee di St Pierre, Prancis, pada 1902.Sebanyak 29 ribu penduduk kota itu mati seketika dalam pada posisi terakhir tubuhnya bergerak, persis korban Merapi 108 tahun kemudian. Hanya satu orang yang selamat di St Pierre dan dia adalah penghuni tahanan bawah tanah di kota itu.
Kandungan awan panas diantaranya terdiri dari gas fluor, belerang, H2S (gas asam), magnesium, dan kalium.Fluor adalah gas halogen beracun berwarna kuning-hijau yang paling reaktif dan elektronegatif. Gas ini amat berbahaya karena menyebabkan pembakaran kimia parah begitu berhubungan dengan kulit."Polusi gas asam yang mengandung belerang menyerang sistem pernapasan manusia dan merusakkan paru-paru," kata pakar geofisika dari Universitas Indonesia, Dr. Abdul Haris,
Satu laman yang diasuh seorang geolog (mivo-sys.tripod.com/pyroclastic.html), mengilustrasikan bagaimana awan panas merusak paru-paru untuk kemudian mencabut nyawa manusia.
"Kebanyakan orang yang mati akibat awan panas adalah karena tertimpa reruntuhan atau terbakar abu panas dan gas beracun," kata laman ini.Mereka yang terkubur biasa terperangkap oleh udara panas yang luar biasa. Gas dan debu bersuhu 660 derajat Celcius akan dengan mudah membakar apapun, dari pakaian hingga tubuh manusia.
Pembakaran berhenti jika oksigen habis di sekitar wilayah terselimuti awan panas. Namun, begitu oksigen masuk lagi, wilayah itu bakal segera terbakar kembali.
Gas dan abu panas itu dihirup korban. Paru-paru korban seketika layu atau tersumbat akibat menghirup material vulkanik ekstrem itu, lalu beberapa lama kemudian korban mati seketika.Contohnya adalah para korban tragedi St Pierre pada 1902 yang harus manahan derita berhari-hari karena paru-parunya terbakar. Mereka kemudian akhirnya meninggal dunia.
Mayat-mayat yang ditemukan di kota itu dan juga Pompeii, umumnya dalam posisi menggeliat, seperti kehabisan nafas atau oksigen.Tapi penelitian terbaru terhadap kota Pompeii justru menyebutkan bahwa penduduk Pompeii tewas karena terkaman awan panas, bukan karena kehabisan oksigen.
"Dari pola warna dan retakan tulang, korban mati karena panas yang ekstrem," kata vulkanolog Giuseppe Mastrolorenzo seperti dikutip National Geographic News (2/10).Dia melanjutkan, "Suhu yang naik sampai 300 derajat Celcius atau lebih, cukup untuk membunuh ratusan orang dalam hitungan detik." Dua ribu tahun setelah Pompeii, awan panas juga yang mengambil nyawa lebih dari seratus orang penduduk lereng Gunung Merapi.
"Mayat-mayat dalam posisi menggeliat-geliat itu bukan akibat menahan sakit berkepanjangan, melainkan karena seketika kaku akibat tekanan panas menerkam tubuh," kata Mastrolorenzo.Paparan ini mungkin cukup membantu menggambarkan mengapa manusia harus dijauhkan dari daerah-daerah yang berada di jangkauan sebaran awan panas.
Bukan saja karena awan panas atau "wedhus gembel" ini efeknya mengerikan dengan tak menyisakan apapun yang disentuhnya, tetapi karena material vulkanik ini juga begitu sulit diprediksi kapan datang dan berhentinya.Untuk itu, adalah sangat penting bagi warga sekitar Gunung Merapi untuk mematuhi saja rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pakar vulkanologi dan otoritas penanggulangan bencana.
Bahkan jika aktivitas gunung berapi itu selesai, masih perlu waktu sekurang-kurangnya dua minggu lagi sebelum para pengungsi diizinkan kembali ke rumahnya."Waktu dua minggu adalah untuk meneliti apakah aktifvitas gunung berapi seperti kegempaannya, benar-benar selesai,"
"Jika awan panas itu tidak berlalu atau diam saja, maka dapat dipastikan korban akan menjadi abu," kata Rokhmatuloh.Tak heran, jika para vulkanolog menyebut "pyroclastic flows" atau "wedhus gembel" adalah material vulkanik yang paling mematikan.
Gambaran lainnya adalah letusan Gunung Pelee di St Pierre, Prancis, pada 1902.Sebanyak 29 ribu penduduk kota itu mati seketika dalam pada posisi terakhir tubuhnya bergerak, persis korban Merapi 108 tahun kemudian. Hanya satu orang yang selamat di St Pierre dan dia adalah penghuni tahanan bawah tanah di kota itu.
Kandungan awan panas diantaranya terdiri dari gas fluor, belerang, H2S (gas asam), magnesium, dan kalium.Fluor adalah gas halogen beracun berwarna kuning-hijau yang paling reaktif dan elektronegatif. Gas ini amat berbahaya karena menyebabkan pembakaran kimia parah begitu berhubungan dengan kulit."Polusi gas asam yang mengandung belerang menyerang sistem pernapasan manusia dan merusakkan paru-paru," kata pakar geofisika dari Universitas Indonesia, Dr. Abdul Haris,
Satu laman yang diasuh seorang geolog (mivo-sys.tripod.com/pyroclastic.html), mengilustrasikan bagaimana awan panas merusak paru-paru untuk kemudian mencabut nyawa manusia.
"Kebanyakan orang yang mati akibat awan panas adalah karena tertimpa reruntuhan atau terbakar abu panas dan gas beracun," kata laman ini.Mereka yang terkubur biasa terperangkap oleh udara panas yang luar biasa. Gas dan debu bersuhu 660 derajat Celcius akan dengan mudah membakar apapun, dari pakaian hingga tubuh manusia.
Pembakaran berhenti jika oksigen habis di sekitar wilayah terselimuti awan panas. Namun, begitu oksigen masuk lagi, wilayah itu bakal segera terbakar kembali.
Gas dan abu panas itu dihirup korban. Paru-paru korban seketika layu atau tersumbat akibat menghirup material vulkanik ekstrem itu, lalu beberapa lama kemudian korban mati seketika.Contohnya adalah para korban tragedi St Pierre pada 1902 yang harus manahan derita berhari-hari karena paru-parunya terbakar. Mereka kemudian akhirnya meninggal dunia.
Mayat-mayat yang ditemukan di kota itu dan juga Pompeii, umumnya dalam posisi menggeliat, seperti kehabisan nafas atau oksigen.Tapi penelitian terbaru terhadap kota Pompeii justru menyebutkan bahwa penduduk Pompeii tewas karena terkaman awan panas, bukan karena kehabisan oksigen.
"Dari pola warna dan retakan tulang, korban mati karena panas yang ekstrem," kata vulkanolog Giuseppe Mastrolorenzo seperti dikutip National Geographic News (2/10).Dia melanjutkan, "Suhu yang naik sampai 300 derajat Celcius atau lebih, cukup untuk membunuh ratusan orang dalam hitungan detik." Dua ribu tahun setelah Pompeii, awan panas juga yang mengambil nyawa lebih dari seratus orang penduduk lereng Gunung Merapi.
"Mayat-mayat dalam posisi menggeliat-geliat itu bukan akibat menahan sakit berkepanjangan, melainkan karena seketika kaku akibat tekanan panas menerkam tubuh," kata Mastrolorenzo.Paparan ini mungkin cukup membantu menggambarkan mengapa manusia harus dijauhkan dari daerah-daerah yang berada di jangkauan sebaran awan panas.
Bukan saja karena awan panas atau "wedhus gembel" ini efeknya mengerikan dengan tak menyisakan apapun yang disentuhnya, tetapi karena material vulkanik ini juga begitu sulit diprediksi kapan datang dan berhentinya.Untuk itu, adalah sangat penting bagi warga sekitar Gunung Merapi untuk mematuhi saja rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pakar vulkanologi dan otoritas penanggulangan bencana.
Bahkan jika aktivitas gunung berapi itu selesai, masih perlu waktu sekurang-kurangnya dua minggu lagi sebelum para pengungsi diizinkan kembali ke rumahnya."Waktu dua minggu adalah untuk meneliti apakah aktifvitas gunung berapi seperti kegempaannya, benar-benar selesai,"